CAHAYASERELO.COM, Palembang – Polemik terkait Surat Toleransi Angkutan Batu Bara kembali mencuat setelah ambruknya Jembatan Muara Lawai B pada Minggu malam (29/6). Surat yang dikeluarkan oleh Dinas Perhubungan (Dishub) Provinsi Sumatera Selatan dengan nomor 551.2/4151/5/2018 dan bertanggal 8 November 2018 itu, kini menjadi sorotan publik dan pemangku kebijakan.
Surat tersebut ditandatangani oleh Kepala Dishub Sumsel saat itu, Drs. Nelson Firdaus, MM, dan ditujukan kepada Kadishub Kabupaten Lahat serta Kadishub Kabupaten Muara Enim. Isinya memberikan toleransi bagi angkutan batu bara untuk tetap menggunakan jalan umum dengan waktu operasional terbatas, yakni pukul 18.00 hingga 05.00 WIB. Beberapa rute yang diizinkan antara lain Lahat–Stasiun Sukacinta, Lahat–Stasiun Banjarsari, Lahat–Tanjung Jambu, Tanjung Enim–Tanjung Jambu, dan Tanjung Enim–PT Semen Baturaja.
Penerbitan surat ini merupakan tindak lanjut dari terbitnya Peraturan Gubernur Sumsel Nomor 74 Tahun 2018, yang mencabut Pergub Nomor 23 Tahun 2012 tentang larangan pengangkutan batu bara melalui jalan umum. Dalam surat tersebut juga disebutkan bahwa langkah ini diambil demi menjaga stabilitas produktivitas batu bara secara berkelanjutan.
Namun, munculnya kembali surat ini menuai kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk dari Sekretaris Dishub Kabupaten Muara Enim, Akhmad Junaini, SIP. Menurutnya, berdasarkan Pergub No 74/2018, dengan pencabutan Pergub sebelumnya, maka seharusnya pengangkutan batu bara melalui jalan umum tidak lagi diizinkan. Ia juga menegaskan bahwa toleransi yang diberikan bersifat sementara (temporer), bukan permanen.
“Sejak 2018 hingga sekarang 2025, toleransi itu terus berjalan tanpa kejelasan batas waktu berakhirnya. Ini jelas menimbulkan persoalan,” tegas Junaini.
Junaini juga mengungkapkan bahwa Dishub kabupaten tidak pernah mendapatkan tembusan resmi dari Dishub Provinsi mengenai perusahaan atau armada yang diberikan izin toleransi. Informasi baru diperoleh jika pihak kabupaten aktif meminta kepada perusahaan yang bersangkutan.
“Kami di daerah sering kali hanya mendapatkan informasi dari pihak perusahaan, itupun jika kami yang meminta. Kami tidak tahu berapa banyak perusahaan dan armada yang masih beroperasi di bawah surat toleransi tersebut,” keluhnya.
Isu ini kembali mencuat setelah Ketua Komisi IV DPRD Sumsel, HM Yansuri, mengangkatnya ke publik beberapa hari lalu. Ia menilai surat toleransi tersebut menjadi salah satu penyebab utama kerusakan jalan provinsi dan nasional akibat beban kendaraan batu bara yang berlebihan.
Kini, dengan runtuhnya Jembatan Muara Lawai B, tekanan publik terhadap keberlanjutan kebijakan toleransi angkutan batu bara semakin besar. Pemerintah provinsi diminta untuk segera mengevaluasi dan memberikan kepastian hukum terkait batas waktu berlakunya surat toleransi tersebut, serta memastikan adanya koordinasi yang lebih baik dengan pemerintah kabupaten dan kota di wilayah terdampak. (*)