CAHAYASERELO.COM, Palembang – Tim Penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Selatan resmi menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pembangunan Pasar Cinde Kota Palembang. Keempatnya adalah mantan Gubernur Sumsel Alex Noerdin (AN), eks Kepala Dinas PUCK Sumsel Edi Hermanto (EH), serta dua pihak swasta yakni Aldrin Tando (AT) dan Rainmar Yosnaidi (RY) selaku pelaksana pembangunan pasar tersebut.
Penetapan tersangka ini diumumkan langsung oleh Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Sumsel, Umaryadi SH MH, didampingi Kasi Penkum Kejati Sumsel Vanny Yulia Eka Sari SH MH, dalam keterangan pers pada Rabu (2/7/2025).
“Tim penyidik pidsus Kejati Sumsel telah menetapkan empat orang tersangka atas kasus dugaan korupsi pembangunan Pasar Cinde Palembang, yakni inisial AN, EH, RY dan AT,” tegas Umaryadi.
Ditetapkan Setelah Pemeriksaan Saksi
Menurut Umaryadi, keempat tersangka sebelumnya sudah diperiksa sebagai saksi. Berdasarkan hasil pemeriksaan dan alat bukti yang diperoleh, penyidik menyimpulkan telah cukup bukti untuk meningkatkan status mereka menjadi tersangka.
“Untuk tersangka RY dilakukan penahanan selama 20 hari ke depan di Rutan Pakjo Palembang. Sedangkan AN dan EH saat ini adalah terpidana dalam perkara lain, dan tersangka AT diketahui berada di luar negeri,” jelasnya.
Dijerat Undang-undang Tipikor
Aspidsus Kejati Sumsel menjelaskan, para tersangka dijerat dengan:
-
Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, atau
Subsidair Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Modus Operandi: Penyimpangan dalam Proyek dan Kontrak
Lebih lanjut, Umaryadi memaparkan, kasus ini bermula dari rencana pemanfaatan aset milik Pemprov Sumsel sebagai fasilitas pendukung Asian Games 2018. Salah satunya adalah Pasar Cinde, yang kemudian disepakati untuk dikembangkan dengan skema Bangun Guna Serah (BGS).
Namun, dalam pelaksanaan proses pengadaan, ditemukan banyak kejanggalan. “Mitra BGS tidak memenuhi kualifikasi panitia pengadaan, dan kontrak yang ditandatangani ternyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata Umaryadi.
Akibat kontrak tersebut, bangunan cagar budaya Pasar Cinde justru hilang. Selain itu, ditemukan pula aliran dana dari pihak mitra kerja sama kepada pejabat terkait, antara lain sebagai kompensasi pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Indikasi Obstruction of Justice
Dalam penyidikan, tim Kejati Sumsel juga menemukan fakta baru berupa bukti elektronik (percakapan via handphone) yang mengindikasikan adanya upaya menghalang-halangi proses penyidikan. “Ada pihak yang bersedia menjadi ‘pemeran pengganti’ untuk dijadikan tersangka dengan kompensasi uang senilai kurang lebih Rp17 miliar,” ungkap Umaryadi.
Atas temuan itu, tidak menutup kemungkinan para tersangka nantinya juga akan dijerat dengan pasal tentang penghalangan penyidikan (obstruction of justice).
Penyidikan Terus Berlanjut
Umaryadi menegaskan, penyidikan masih terus dilakukan untuk mendalami keterlibatan pihak-pihak lain yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. “Tim penyidik Kejati Sumsel tentu akan segera mengambil tindakan hukum lain yang diperlukan untuk mengungkap tuntas kasus ini,” pungkasnya.
Kasus ini menjadi perhatian publik karena melibatkan nama besar seperti mantan Gubernur Sumsel Alex Noerdin, serta berdampak pada hilangnya bangunan cagar budaya yang menjadi salah satu ikon sejarah Kota Palembang.